Sabtu, 31 Oktober 2020

Kisah Kang Encon Menapaki Dunia Menulis

 Ini adalah malam kesembilan kelas Belajar Menulis Gelombang 16. Biar tidak lupa, sengaja saya sebutkan tanggalnya. Kegiatan dibuka oleh seorang moderator yang belum pernah tampil di perkuliahan sebelumnya. Namanya adalah Fatimah dari Aceh. Sedangkan pematerinya adalah Encon Rahman, yang pernah menjadi juara guru berprestasi tingkat nasional tahun 2016. 

 Hari ini, Jumat, tanggal 23 Oktober 2020. Sepeti jadwal yang sudah ditentukan, persis jam 19.00 acara kuliah pun dimulai. Malam ini benar-benar serba baru. Nara sumber baru, moderator baru, dan cara kuliahnya betul-betul full audio. Rupanya, narasumber lebih enjoy menyajikan materi dengan cara mengirim pesan suara/voice note.

Dalam paparan awalnya, Kang Encon menegaskan tema malam ini, yaitu teknik membuat tulisan yang dapat dimuat koran dan majalah. Narasumber sendiri hingga saat berbicara sudah sukses menulis ratusan artikel. Terbukti, banyak tulisannya yang dimuat koran atau majalah baik lokal maupun nasional. Tulisannya yang dimuat telah mencapai lima ratus lebih. 

Keberhasilan dalam menulis itu mengantarkannya menjadi guru berprestasi tingkat nasional. Selain itu, berkat kelihaiannya menulis, ia juga terpilih sebagai penerima penghargaan bertaraf internasional dari Thailand pada tahun 2017 mewakili guru Indonesia.

Awal ketertarikannya menulis di koran dan majalah karena dipicu oleh kegemaran membaca surat kabar. Setiap kali selesai membaca koran dan majalah, ia berpikir bahwa tulisan yang dimuat itu sangat mudah. Meski begitu, ia belum berani mencoba membuat tulisan dan mengirimkannya ke media. Pasalnya, ia tidak mengetahui ilmu terkait bagaimana cara, strategi, dan langkah-langkahnya.

Sebagai pelampiasan keinginan menulis, akhirnya Kang Encon hanya mengirim tulisan untuk majalah dinding yang ada di sekolahnya. Minimnya ilmu dan informasi terkait teknik menulis tulisan yang dikirim ke koran membuat perkembangan keterampilan menulisnya kurang menggembirakan. Itu terjadi ketika ia duduk di jenjang SMP. 

Berbeda setelah ia melanjutkan pendidikan ke jenjang SPG (Sekolah Pendidikan Guru) yang saat itu setara dengan SMA. Sebab, di SPG itulah ia mendapat tambahan pengetahuan tentang menulis di media massa. Meskipun tidak terlalu banyak pengetahuan yang didapat, tetapi ada salah seorang gurunya yang memotivasi untuk mengirimkan tulisannya  ke media massa.

Kebiasaan lama menulis di majalah dinding terus dilanjutkan di SPG. Meskipun tidak mendapat honor, tetapi ada rasa bangga di dalam dirinya begitu tulisannya dibaca oleh teman-temannya. Apresiasi dari sesama pelajar itu sudah cukup membuatnya termotivasi untuk terus menulis.

Tulisan awal yang sering ditulis dan dimuat di majalah dinding sekolah adalah tulisan-tulisan ringan, seperti artikel, cerpen, dan sajak-sajak sederhana. Melihat respon dan apresiasi teman-teman terhadap tulisannya, Kang Encon pun mulai mencoba mengirim tulisan ke media. Tulisan yang dikirimnya adalah tulisan sederhana seperti kartun dan humor.

Atas setiap pemuatan karyanya, Kang Encon mendapat kiriman uang melalui wesel. Meskipun tidak begitu banyak, tapi itu sudah cukup membuatnya senang. Apalagi, bila pemuatan itu juga diapresiasi oleh teman-temannya, maka hal itu juga semakin menambah rasa bangga pada dirinya. Ada kenikmatan tersendiri setiap kali mendapat honor. Sebab, ia bisa menikmati makan-makan bersama teman-temannya dari keringatnya sendiri.

Setelah tulisan-tulisan kecilnya banyak dimuat, Kang Encon mulai berani mengirim tulisan yang lebih kompleks seperti cerpen. Tabloid Mitra Desa, yang berada di bawah naungan harian Pikiran Rakyat, menjadi sasaran pengiriman tulisan-tulisannya. Sebab, tabloid ini lebih sering memuat tulisan-tulisan yang ia kirim. 

Kang Encon mengalami perkembangan yang semakin menggembirakan. Pasalnya, setiap tulisannya dimuat ia mendapat honor yang dikirim via wesel dengan menggunakan alamat sekolah. Tak ayal, guru-guru pun mengenalnya sebagai penulis. Bahkan, teman-temannya menjulukinya sebagai wartawan. Ia senang bukan main. 

Kang Encon membaca tabloid di perpustakaan sekolahnya. Hal itu karena perpustakaan sekolah berlangganan media itu. Dari situlah Kang Encon bisa memantau setiap tulisannya yang dimuat. Begitu ada tulisan yang dimuat, maka ia pun mengklipingnya sebagai dokumentasi pribadi. Dengan kebiasaan baik itu, Kang Encon memiliki dokumentasi tulisan sejak pertama kali dimuat.

Seiring dengan perkembangan waktu, semakin banyak tulisannya yang dimuat. Ilmunya juga semakin bertambah. Pergaulannya dengan sesama rekan yang suka menulis pun semakin meluas. Itulah yang meningkatkan wawasannya. Sehingga ia mulai mencoba mengirim tulisan ke media induk, yaitu Harian Umum Pikiran Rakyat.

Kang Encon pun penuh dengan rasa syukur atas pemuatan tulisannya oleh koran. Adapun yang ditulisnya cukup beragam seperti cerpen, artikel, sajak, atau feature. Apa yang dilakukan Kang Encon pada awalnya dilakukan secara "tidak sengaja." Belakangan baru disadari bahwa untuk membuat seorang penulis pemula terus termotivasi adalah dengan mengirim karya ke media lokal.

Tujuannya adalah agar karya yang dikirimnya tersebut mudah dimuat. Sebab, bagi seorang penulis pemula, dimuatnya sebuah tulisan adalah sangat penting dan menentukan. Bila karya pertamanya dimuat, hal itu akan membuatnya senang dan semakin termotivasi. Itu sangat mungkin bila karya dikirim ke media lokal yang tingkat persaingannya tidak begitu ketat. 

Berbeda dengan koran regional atau nasional. Tingkat persaingan di koran nasional tentu lebih tinggi dan seleksinya lebih ketat. Hal itu akan membuat sulitnya tulisan penulis baru dimuat. Bila tulisan sering tidak dimuat, akan membuat penulis pemula patah arang. Karena itu, penulis pemula perlu pandai-pandai memilih media yang menjadi sasaran pengiriman. 

Karena itulah Kang Encon mengirim tulisan ke media-media kecil terlebih dahulu. Tentu saja, honornya lebih kecil. Namun, setiap kali karya dimuat mampu mendatangkan limpahan motivasi untuk terus menulis lagi dan lagi. Kesimpulan dari Kang Encon, bila kita ingin belajar menulis, mulailah dari hal yang sederhana lalu kirim ke media yang juga skala persaingannya tidak terlalu ketat. Dalam hal ini, media nasional memiliki level persaingan yang jauh lebih ketat dari pada media lokal.

Demikianlah kiat Kang Encon. Menulislah dari yang sederhana. Kirimlah ke media yang tidak terlalu besar terlebih dahulu. Lalu rutinkan untuk beberapa waktu mengirim karya ke media lokal tersebut. Bila sudah cukup mantap dengan seringnya karya yang dimuat, maka kita bisa beralih mencoba mengirim tulisan ke media yang lebih besar. 

Kembali pada kisah Kang Encon. Ia memiliki keinginan untuk kuliah tanpa membebani orang tuanya. Honor-honor menulisnya selalu disisihkan untuk ditabung. Sehingga, untuk mendaftar ke kampus pilihannya di Bandung, ia tidak perlu meminta kepada orang tuanya, tetapi ia berangkat dengan menggunakan uang honor yang telah dikumpulkannya.

Namun sayang, Kang Encon tidak berhasil lulus sipenmaru kala itu. Untungnya, kegemarannya menulis dan mengirim tulisan ke koran semakin menguat. Kini, tulisannya tidak hanya dikirim ke koran itu-itu saja. Semakin banyak media yang menjadi targetnya.

Tahun berikutnya, Kang Encon semakin berani mengirim tulisan ke koran nasional. kegagalannya tembus kampus negeri, menyebabkan ia harus kuliah di kampus swasta yang biaya SPP-nya hampir dua kali lipat lebih besar. Ia pun kuliah di Universitas Pasundan Bandung fakultas FKIP jurusan Bahasa  dan sastra Indonesia.

Untuk terus bisa kuliah, tak ada pilihan selain terus menulis di koran dan beberapa majalah. Di samping itu, Kang Encon juga membantu teman-temannya yang membutuhkan bantuan menulis dan mengeditnya. Sebab, dari tulisan-tulisan itulah Kang Encon bisa membayar SPP. Hingga lulus kuliah, ia tak harus meminta kepada orang tua. 

Ketika awal-awal di Bandung, Kang Encon menulis semua genre tulisan, mulai dari cerpen, cerbung, sajak, film, dan bahkan kartun. Semua dilakoninya, dalam rangka melanjutkan kuliah. Honor terbesarnya didapat dari koran. Bahkan, dari sanalah ia dapat memenuhi semua kebutuhan kuliahnya.

Ia bergaul dengan komunitas para penulis. Salah satunya dengan Komunitas Balai Jurnalistik ICMI Bandung. Dari sanalah ia banyak belajar tentang bagaimana cara membuat artikel, cerpen, dan segala jenis tulisan yang dibutuhkan media dengan cara yang lebih baik. Kemampuannya semakin bertambah berkat interaksinya dengan komunitas semacam itu.

Bergabung dengan komunitas menulis membuat pencapaiannya semakin meningkat. Selain ilmu, ia juga merasa selalu termotivasi. Inilah manfaat yang sangat besar dari komunitas. Pada saat semangat menulis menurun, komunitas menjadi kekuatan yang mampu mendongkrak kembali semangat yang luntur.

Suatu ketika, Kang Encon membutuhkan uang dalam jumlah yang cukup besar. Dalam kesendirian merenung di tengah malam, Kang Encon pun mendapat sebuah inspirasi untuk membuat cerita anak. Kemudian, cerita anak itu dikirim ke Harian Pikiran Rakyat. Selang satu bulan, pihak redaksi meneleponnya. 

Pihak redaksi menyampaikan bahwa tulisan Kang Encon akan dimuat secara bersambung dalam sisipan tabloid untuk anak yang terbit sebagai edisi tambahan setiap minggu. Luar biasa, honornya betul-betul besar. Bila dibanding UMR di Bandung yang saat itu hanya Rp.150.000, Kang Encon dibayar sebesar 100 ribu setiap minggunya. Sedangkan harga emas saat itu 25 ribu pergramnya.

Kang Encon sangat bersyukur dengan pemuatan itu. Sebab, dari honor itulah ia bisa melanjutkan kuliahnya hingga lulus. Banyak koran dan media lain yang menjadi sasaran Kang Encon. Tanpa memedulikan apakah dimuat atau tidak, ia terus saja menulis.

Refleksi dari kang Encon adalah bahwa bila kita memili keterampilan menulis, maka hendaknya terus dikembangkan. Untuk itu, cobalah mengirim tulisan ke media, termasuk ke koran. Sebab, koran mudah ditembus dan honornya lumayan besar. Tersulah mencari ide dan buat tulisan yang dibutuhkan media. Teruslah berdiskusi dengan rekan-rekan sesama penulis.

Dari sisi mental, seorang penulis juga harus memiliki mental tahan banting. Maksudnya, apabila belum dimuat, maka jangan cepat patah semangat. Sebaliknya lakukanlah introspeksi. Bisa jadi penyebabnya karena tulisan tidak sesuai dengan harapan redaksi. Atau tema yang ditulis tidak tepat sasaran pembacanya. Mungkin juga idenya sudah ditulis orang lain. 

Karena itu, dalam proses kreatif menulis artikel di koran dan majalah, seorang penulis harus sering-sering membaca koran dan majalah. Amatilah apa yang sedang tren di masyarakat. Teruslah konsisten menulis. Jangan hanya sekali lalu berhenti. Sebaiknya, begitu mengirim tulisan, maka jangan menunggu terbit atau dimuat dengan berpangku tangan. Menunggulah dengan cara membuat tulisan lain untuk dikirimkan lagi.

Jika bisa, kirimlah tulisan setiap hari, tanpa peduli dimuat atau tidak. Karena pastinya, bila kita produktif, pasti salah satu atau beberapa dari tulisan itu akan dimuat. Fokuslah dan kuatkan mental.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dengan mengamati karya orang lain. Misalnya, setiap tahun ada momen berulang. Ada momen agustusan. Ada tema hari-hari besar. Cobalah mengkliping beberapa tulisan artikel dari beberapa media yang berbicara tentang satu tema. Dari sana kita bisa belajar pola-pola tulisan terkait suatu tema. 

Sadarilah bahwa koran itu bagian dari industri. Maka, kita harus memahami dan menyesuaikan diri dengan gaya koran tersebut. Ini karena setiap media memiliki arah dan ciri tertentu. Sehingga kita perlu mengadakan pengamatan terhadap tulisan yang sudah dimuat. Ini menjadi pengetahuan yang berharga bagi kita dan dapat membantu kita dalam membuat tulisan yang layak muat.

Terakhir, menulis di koran bagi guru memiliki kredit poin yang bagus. Sebab, tulisan itu dapat diajukan dalam penilaian angka kredit. Selain itu, bila artikel kita cukup banyak, bisa dikumpulkan dalam bentuk sebuah buku. Bila buku itu diterbitkan, dapat diajukan pula dalam kenaikan pangkat. Jadi, menulislah dan jangan pernah berhenti menulis.




Terima kasih telah membaca. Masukan yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan di postingan selanjutnya. Salam. Badrul Munir



 











 





9 komentar:

  1. Salam kenal p Munir,tulisan yg cukup informatif

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal kembali Pak. Terima kasih sudah mampir.

      Hapus
  2. Lengkap dan enak dibaca pak. Lanjutkan

    BalasHapus
  3. Baik, komentator selanjutnya. Hem, sudah bagus pak. Ringan dan sederhana paragrafnya.

    Saran saya, perlu dibuat subjudul pak. Agar tulisan yang cukup panjang ini, ada kesempatan orang untuk bernapas dan bisa tahu yang akan dibaca selanjutnya melalui subjudul tersebut.

    BalasHapus